Safira, Kau Tetap Sempurna Bagiku
Setahun yang lalu hingga saat
ini, adalah hal yang paling berat dalam hidupku yang pernah aku jalani.
Hubungan jarak jauh antara aku dengan Safira terpaksa kujalani. kalau
bukan karena tuntutan kerja, dan jika bukan karena bujukan Safira agar
aku menerima promosi ini, mungkin aku akan mencari pekerjaan lain diluar
sana. asalkan aku tidak berada jauh darinya. sungguh sangat sulit
rasanya jauh dari orang yang sangat kita cintai, seberapapun dan
sesering apapun kau bicara dengannya lewat telfon. masih banyak
perusahaan kontraktor lain di Indonesia yang tak berfikir panjang untuk
mempekerjakanku. Tapi kupikir, posisi yang aku dalami sekarang ini pasti
bisa melejit lebih cepat dari yang orang bayangkan.
Malam setelah kelelahan ku
istirahatkan dengan secangkir coklat hangat, seperti biasa aku duduk di
depan laptopku. tentu saja menunggumu online di skype. ada sebuah
kejutan yang sudah tak sabar ingin aku kabarkan padanya. dan ketika
kudengar nada video call dari skype-ku menjingkrakkanku, aku langsung
memasang wajah paling tampan begitu kulihat senyuman indahmu melebar di
layar desktop.
"Lulabi...lulabi...honey bunny
sweety!!!" itu kalimat pertama yg ku utarakan dengan nada memanja. Dan
seperti biasa, ia selalu tertawa setiap aku melafalkannya.
"Hei, kamu tahu? hari ini aku
belajar memasak spagetti. dan kamu tau hasilnya?" ia menunjukkan jari
telunjuknya yang berbalut Hansaplast. "telunjukku koyak, ahahahahah"
"Pasti nangis kesakitan?" tanyaku sedikit cemas
"Yieee anak kecil kalee kalau
begini aja udah nangis." lagi-lagi Safira menunjukan tawanya yang khas,
aku suka cara ia menarik nafasnya saat tawanya menggelegak, aku rindu
akan itu. tapi sepertinya lelucon kali ini tidak selucu biasanya.
"Lalu? ada kabar terbaru apa, pejantanku?"
Aku menarik nafasku, setidaknya
aku terlalu bahagia dengan kabar ini. "besok sore, aku akan ada di
Jakarta.AKU AKAN PULANGGG!!!" aku berteriak girang, sama girangnya
dengan reaksi Safira di balik layar itu.
"Seriuss?!"
"iya bener,proyek sudah selesai.
dan besok jam 10 pagi pesawatku berangkat dari Bandara Polonia,
kemungkinan jam 11.30 sampai Jakarta."
"Oya?
alhamdulillah, aku benar-benar senang mendengarnya. dan sepertinyaaa
aku harus siapin kejutan buat kamu. kamu suka surprise??"
"yaa, aku cuma ingin kita
ketemuan di Cafe tempat biasa kita bertemu. begitu aku sampai jakarta,
aku akan langsung kesana. kita makan siang bersama."
"Aku suka itu." ujarnya senang. "sungguh, Van... aku benar-benar kangen sama kamu. dan aku..."
"Udah gak sabar pengen lihat aku kan?" kataku memotong kalimatnya. tapi dia malah tertawa
Aku terus bercerita dengan
Safira sampai hampir lebih satu jam, bercerita tentang masa depan,
tentang masa lalu yang kami lalui dengan cara yang berbeda-beda. namun
kau tetap menyimpan rahasiaku, karena aku harus memastikan bahwa besok
adalah hari dimana aku akan membuat ia merasa sebagai wanita paling
berharga.
aku akan melamarnya.
Pukul 8.30 WIB
Pagi
di lokasi proyek, aku harus berjibaku dengan waktu. bukan untuk
mempersiapkan keberangkatanku, tapi menyelesaikan masalah kerusuhan yang
terjadi antara masyarakat, kontraktor dan pemilik pabrik kimia yang
kami kerjakan. Hingga sampai saat ini masyarakat belum menyetujui
pembangunan pabrik tersebut, dan akan terus menimbulkan kerusuhan jika
pihak Kontraktor dan pemilik tidak memenuhi keinginan mereka.
aku tak tahu lagi harus
bagaimana, baru kali ini dalam sejarah pekerjaanku, aku menghadapi
situasi tersulit, kerusuhan dimana-mana, lemparan bertubi-tubi dari
masyarakat, dan makian berselimut amarah. mereka begitu kuat jumlahnya,
bahkan aparat kepolisianpun hampir tidak sanggup menghentikan kericuhan
itu sampai sore hari.
Kamipun mengalah, dan mau tidak
mau harus membuat pengumuman bahwa dalam waktu 3 kali 24 jam semua
tuntutan mereka akan terpenuhi. dan sepertinya aku harus tinggal di
tempat ini lebih lama lagi setidaknya empat hari kedepan sampai semua
masalah benar-benar beres.
Dan Safira, ASTAGA! bagaimana
bisa aku melupakannya! seharusnya aku memberi dia kabar atas pembatalan
kepulanganku. ya ampun, dia pasti sangat kecewa padaku. aku tidak tahu
harus memulai kata dari mana saat aku mulai menekan nomor hendphone-nya
di ponselku.
"nomor yang anda tuju sedang tidak aktif, atau berada di luar jangkauan. silahkan tinggalkan pesan."
"Kenapa enggak aktiffff....sayangggggg" gerutuku cemas.
Aku terus mencoba untuk
menghubunginya, namun berpuluh-puluh kali usaha yang kulakukan tetap
saja tidak menghasilkan jawaban apa-apa. Safira pasti marah, dia pasti
sangat kecewa kepadaku. sebesar apapun cintanya kepadaku, sanggupkah
bila ia harus sekecewa ini kepadaku? dengan cara apapun aku menghibur
diriku dengan pekerjaan aku tetap tidak bisa tenang memikirkan Safira.
Aku coba menghubungi keluarganya terutama ibu Safira, tapi telfonku tak
pernah diangkat. Tiga hari berlalu, selama itu aku terus mencoba
menghubungi orang-orang terdekatnya, tapi entah kenapa tak satupun dari
mereka yang bisa ku hubungi. Astaga!! barangkali aku tak pernah berpikir
tentang teman-temannya. yah, selama ini aku terlalu percaya pada Safira
dan keluarganya hingga aku tidak butuh contact teman-teman
terdekatnya.
ku pastikan pekerjaanku selesai
hari ini juga, agar besok aku bisa pergi dari tempat yang memenatkan
ini. setiap malam sebelum tidur, aku berdoa agar kecemasanku ini tidak
berarti buruk. ku pandangi dengan cara yang hening cincin lamaran yang
akan aku sematkan di jari Safira, aku bisa membayangkan ia akan melompat
girang dengan caraku memasangkan cincin itu di jarinya. atau mungkin ia
akan menangis terharu lantaran bahagia. Aku ingin ekspresi itu,
ekspresi cinta yang mendalam antara aku dan dia.
27 Novemberr 2011
Aku
kembali ke Jakarta. Meski hingga detik ini aku belum mendapatkan kabar
dari Safira, aku yakin kepulanganku hari ini akan membuat dia terkejut.
anggap saja ini surprise. begitu sampai rumah, ku sapa ibu dan
keluargaku dengan penuh kehangatan. kemudian aku pergi tanpa harus
mempersiapkan diri. begitu aku telah tiba di depan rumah gadisku,
Astagaaaa bagaimana bisa aku jadi merasa seperti baru mengenal rumah
ini. bahkan lebih menegangkan daripada saat aku menembak Safira tiga
tahun yang lalu.
ku ungkap segala keberanian
mengucakan salam, tak lama dari balik pintu itu kulihat mbak Niar
muncul, dengan ekspresi keterkejutan dan penampilan yang sangat
berantakan.
"Evan?!" tanyanya terkejut. apa aku seperti hantu? pikirku.
"Aku mau ketemu sama Safira, mbak. apakah dia baik-baik saja? kenapa aku tidak bisa menghubunginya?"
perempuan itu diam. aku tidak
tahu apakah itu suatu pilihannya untuk mengacuhkanku? aku ingin ikut
diam, tapi yang kudengar malah suara tangisan dari dalam sana. sebuah
suara yang terdengar semakin mengisak, sebuah suara yang sangat ku
kenal. aku terhenyak, kemudian dengan cepat menerobos mbak Niar dan
masuk kedalam kamar Safira. aku takut sesuatu terjadi padanya, jantung
ku seolah berdegup cepat. aku hendak membuka pintu kamarnya, namun mbak
Niar menarik tanganku dengan sangat kuat. menghalagiku.
"Mau apa kamu?!" tanyanya cetus.
"aku mendengar Safira menangis, aku harus tahu apa yang terjadi padanya."
"Kau
harus tahu atau kau harus tak mau tahu?" demi Tuhan tak pernah
sekalipun aku mendengar wanita ini membentakku begitu keras. aku sampai
hilang kata-kata membisu. lalu samar-samar ku lihat ada air mata
mengalir dari sudut matanya. kini aku mendengar dua suara tangisan.
"Apa yang terjadi mbak?" aku
mulai merasakan sesuatu memang sedang terjadi disini. tapi mbak Niar tak
memberi jawaban. Aku bersikeras, dan masuk melalui pintu yang terasa
sangat berat.
akupun
melihatnya, dan sekujur tubuhku terasa lumpuh, darahku tiba-tiba memacu
dengan sangat deras, membisu, dan seketika itu juga menangis dan
berlutut di hadapannya yang sedang meringkuk kesedihan.
"Ia menunggumu di Cafe itu, hari
dimana kamu berjanji untuk pulang." suara mbak Niar terdengar parau,
sedangkan aku masih berlutut di hadapan Safira yang meringkuk sambil
menangis seolah tak ingin menerima semua ini.
"lalu musibah terjadi, Cafe itu
terbakar dan meledak sehingga pecahan kaca mengenai matanya, dan
lihatlah kondisinya sekarang" inikah yang kutakutkan? "seharusnya semua
ini tidak terjadi jika seandainya kamu pulang."
Safira Buta? ya Tuhannn aku bisa
melihat mata dibalik balutan perban itu amatlah pedih. ini salahku, ini
mutlak adalah kesalahanku. aku yang membuat gadis dihadapanku ini
kehilangan penglihatannya, matanya yang dulu indah.
ku coba untuk meraihnya, ku coba
untuk memeluknya dan memohon maaf. namun sepertinya tindakanku malah
semakin membuat ia depresi.aku mengerti jika ia marah, seandainya aku
tidak melupakannya, semua ini pasti tidak akan terjadi.Safira pasti
masih bisa melihatku datang, melihat rambutku dan janggutku yang sudah
sangat rapi seperti apa yang ia inginkan, melihat betapa rindunya aku
pada senyumannya,dan melihat betapa indahnya cincin yang aku bawakan
untuknya.
Hingga akhirnya akupun
berhasil merengkuhnya dalam pelukanku. ia menangis, tapi aku lebih
merasakan tangis teramat pedih. bayangkan jika hal ini terjadi padamu,
jika orang yang kau sayangi menderita akibat kebodohanmu sendiri.
"Maafkan aku sayang... aku
benar-benar sangat menyesal. mulai saat ini, kau tidak perlu memintaku
untuk berjanji lagi. aku akan bersumpah sampai darahku habis, kau akan
tetap ku jadikan kekasih."
Sebulan kemudian...
Aku
berhasil menduduki jabatan sebagai Manajer Teknik. semuanya berubah
drastis. Dan di hari pertamaku memasuki ruang kantor baru, aku harus
mempersiapkan diriku sebaik mungkin. Safira ada disampingku,
mendampingiku dan tetap mendukungku. kulihat ia memilihkan dasi untukku,
kemudian mendekat dan meraba dadaku dengan penuh kelembutan. Meraih
kerah bajuku lalu menyisipkan dasi berwarna hijau muda. Kulihat ia
sangat berhati-hati mengikatkannya dengan senyuman yang masih terlihat
indah bagiku.
"Apa warna kemejamu?" tanyanya padaku.
"Kamu yang memilihkan kemeja ini, warnanya secerah senyummu. Biru langit."
"Bagaimana dengan dasinya?" tanyanya lagi sembari ia masih berusaha mengikat.
"Hijau muda"
"Astagaaa!!!
aku salah memilih dasi, seharusnya hitam atau garis-garis. Kamu harus
membantuku mencariny." kutahan tangannya saat ia hendak menarik kembali
dasiku.
"Jangan!" kataku."ini adalah pilihanmu, aku tidak mau menukarnya dengan dasi yang lain. teruslah mengikat."
No comments:
Post a Comment