Hari mulai petang, awan yang
tadinya cerah berubah menjadi gelap. Tak ada lagi sinar mentari di
langit yang ada hanya cahaya-cahaya kecil dari bintang yang bertaburan
di langit petang.
Saat itu, aku tidak merasakan
ngantuk sama sekali. Akhirnya aku mantapkan kakiku melangkah ke luar
rumah duduk termenung sendrian menatap bintang. Sampai pada akhirnya,
aku tertuju kepada satu bintang yang cahayanya paling terang. Dan saat
itu juga aku teringat kepada seseorang. Seseorang yang sangat berarti
dalam hidupku. Kebetulan hari ini, tanggal 21 juli, tepat saat aku
kehilangan seseorang yang berarti itu.
***
“naik naik ke puncak gunung, tinggi tinggi sekali”
Tawa canda terus terdengar
dariku dan ayah, sampai kemudian peristiwa itu terjadi. Sebuah bus besar
mendahului mobilku dengan kencang, sementara di lajur yang berbeda ada
sebuah tuck yang melaju kencang pula. Lalu bus tersebut tidak bisa
mendahului mobilku dan malah menabrak mobilku sampai mobilku masuk ke
sungai. Ggerrr…. Ccciiitttzz….. BBBrakkkk…. BBrakkkk…. BBBrakkkk…..
duuuaazzz…… . Mobilku masuk kesungai, tapi aku dan ayahku terlempar
keluar lewat jendala, dan kami masuk ke sawah di arah yang berlawanan
dari sungai. Saat terlempar, aku tidak merasakan apa-apa. Aku hanya
merasakan pelukan hangat seseorang dan dekapanan kuat yang mencoba untuk
melindungiku. Setelah masuk ke sawah, aku terlepas dari pelukan dan
dekapan penuh sayang itu. Yaahh… aku terlepas dari dekapan ayahku. Dan
melihat ayahku berada di sampingku sedang tak sadarkan diri. Disitu aku
bingung harus berbuat apa, sementara tidak ada satupun orang disana.
Hanya aku dan ayahku yang berada di tengah sawah tersebut. Aku mencoba
untuk menyadarkan ayah, menepuk-nepuk kedua bahunya sambil menangis dan
berkata,
“ayah… ayah… bangun yah…”
“ bangun… tolong yah… ayah harus bangun….”
“ Yah… bangun yah…”
Aku sudah mencoba berkali-kali,
tapi hasilnya tetap nihil. Ayah tidak bangun dari tidurnya. Aku menangis
dan terus menangis sambil terus menyebut namanya, dan berharap ayah
bisa bangun.
***
Tak lama kemudian, mobil yang
lain dari keluargaku datang. Mereka semua menangis dan menyesali apa
yang telah terjadi. Terdengar juga saudara sepupuku menangis kencang
sambil meneriakkan namaku. Berharap tidak terjadi apa-apa denganku.
Kemudian kami segera ditolong dan dibawa ke rumah sakit terdekat.
Sesampainya di rumah sakit aku diperiksa, dan dokter berbicara dengan
tanteku tentang hasil pemeriksaanku.
“Dok bagaimana keadaan ponakan saya?”
“tidak ada yang terlalu parah bu, hanya saja tangan kanannya patah”
“astaghfirulloh, lalukan saja yang terbaik dok,,”
“pasti bu, kami akan melakukan yang terbaik untuk kesembuhan ponakan ibu”
“terima kasih dok”
“sama-sama bu, itu memang sudah jadi tugas kami”
Ya, hasil pemeriksaan dokter
menyatakan kalau tangan kananku patah. Selain itu di tempat yang
berbeda, ayah masih tidak sadarkan diri dan masih berada di ruang UGD.
Ayah masih diperiksa keadaannya oleh dokter. Selang beberapa waktu,
dokter yang tadi memeriksa ayah keluar, dan segera menginformasikan
keadaan ayah kepada saudaraku.
“ bagaimana keadaannya dok?”
“maaf pak, kami sudah melakukkannya semaksimal mungkin” , dokter tersebut berkata dengan wajah pasrah.
“maksud dokter?”
“korban sudah tidak bisa ditolong lagi”
“innalillahi wainnailaihi rojiun”
Semua anggota keluargaku tidak
percaya, kalau ayahku pergi secepat itu. Padahal ayah masih harus
menjaga aku dan adikku yang masih kecil.
***
Di ruang anak ibu masih
menggendong dan menyusui adik. Ibu tidak mengalami luka yang cukup
serius. Ibu hanya luka memar di bagian wajah karena terbentur pintu
mobil. Sedangkan adikku tidak luka sedikitpun. Ia selamat dalam keadaan
baik seperti tidak ikut dalam peristiwa itu. Setelah cukup lama menyusui
adik, ibu ingin ke ruangan ayah. Tapi dokter terus menghalangi ibu.
“ibu mau kemana?”
“saya mau melihat suami saya bentar dok,”
“jangan dulu bu, ibu harus menjaga bayi ibu dulu disini”
“tapi dok, saya ingin melihat suami saya sebentar, sebentar saja dok…”
“jangan bu, disusui dulu aja anaknya”
Melihat dokter yang seakan-akan
menghalangi langkahnya untuk menemui ayah, ibu semakin cemas. Dari tadi
ibu memang sudah mendapat firasat yang buruk. Takut terjadi apa-apa
dengan ayah. Setelah dokter tersebut pergi memeriksa pasien lain, ibu
langsung memantapkan langkahnya ke ruangan tempat ayah diperiksa tadi.
Sesampainya di depan ruangan tersebut, ibu mendapati saudara- saudaranya
menangis mengisakkan air mata. Ibu langsung menangis dan bertanya ke
saudaranya.
“ada apa?? Mengapa kalian semua menangis? Mana suami saya? Suami saya baik-baik saja kan??”
“tenang… tenang…. Duduk dulu”
“enggak, saya mau lihat suami saya”
“suami kamu sudah tiba ajalnya”
“nggak…. Nggak mungkin…. Itu nggak mungkin terjadi….”
“yang sabar ya, ikhlas… kasihan suamimu kalau kamu seperti ini”
Semua orang berusaha menenangkan
ibu. Ibu terus meneteskan air mata, seakan tidak percaya atas kepergian
ayah yang terlalu singkat. Untunglah keluargaku berhasil menenangkan
ibu.
***
Setelah semua administrasi beres, aku pulang bersama ibu dan adik. Aku sempat bertanya kepada ibu.
“bu, ayah mana? Kok nggak ikut pulang?”
“ayah masih harus di rumah sakit nak, ayah masih sakit”
“tapi aku ingin sama ayah bu…”
“ besok kalau ayah sembuh, ayah pasti pulang”
“benar ya, bu….”
“iya nak…”
Ya, saat itu semua orang memang
merahasiakan kepergian ayah dariku. Takut kalau aku tidak bisa menerima
kepergian ayah. Semua keluargaku memang tau, aku dan ayah seperti
soulmate, dimana ada ayah pasti aku juga ada bersamanya. Aku memang anak
kesayangan ayah. Ayah selalu mengutamakan kebahagiaanku. Ibu aja pernah
dimarahin oleh ayah, karena ibu mencubit aku. Tapi bukan salah ibu juga
sih, aku memang bandel.hehehe… .
Setelah sampai di depan rumah,
aku mendapati rumahku sesak dari gerumelan orang. Tetanggaku berkumpul
di rumah. Memangnya ada apa? Aku baertanya dalam hati. Tapi kemudian,
aku dibawa ke rumah saudaraku,yang jaraknya tidak jauh dari rumah.
Ternyata aku memang sengaja disembunyikan dari ayah. Tidak lama setelah
aku pergi, mobil ambulance datang mengantarkan ayah ke rumah. Semua
tetanggaku sibuk, ayah langsung diangkat ke dalam, dimandikan, dikafani,
dan dikuburkan. Setelah ayah dikuburkan, barulah aku dibawa pulang
kerumah.
***
Hari berganti hari, aku
menjalani hidupku seperti anak kecil pada umumnya. Bermain, tertawa,
bercanda. Smpai suatu hari aku bertanya kepada ibu.
“bu, ayah kapan pulang? Aku kangen sama ayah bu,”
“ayah masih sakit nak, ayah masih harus di rumah sakit”
“tapi kapan ayah pulang bu?”
“kalau ayah sudah saembuh, ayah pasti langsung pulang”
Saat itu aku memang percaya
dengan apa yang ibu katakan. Maklum, aku masih kecil, belum tahu mana
yang bohong mana yang jujur. Aku menganggap semua yang dikatakan ibu itu
memang suatu kejujuran.
Ibu mempunyai inisiatif lain.
Supaya aku gag terus-terusan bertanya tentang keberadaan ayah, aku
dimasukkan ibu ke taman kanak-kanak (TK), ya walaupun usiaku masih 3,5
tahun. Ibu berharap setelah aku di TK, aku bisa berbaur dengan
teman-teman yang lain dan bisa lupa tentang ayah. Memang setelah berada
di TK, aku selalu mengisi hari-hariku dengan kesibukan di sana. Bermain,
bergurau bersama teman-temanku. Walaupun terkadang ada temanku yang
meledek aku, karena mereka menganggap aku tidak punya ayah.
“ hahaha…. Kamu nggak punya ayah ya?”
“siapa bilang, ayah aku masih di rumah sakit, ayah masih sakit”
“bohong, kamu nggak punya ayah”
“aku punya ayah,”
“mana buktinya? Ayah kamu kok nggak pulang?”
“ayah pulang kalau ayah sudah sembuh”
“bohong…. Bohong…. Kamu nggak punya yah”
“ngak punya ayah…. Nggak punya ayah….”
Celotehan temanku itu sering
kali membuat aku menagis dan langsung pulang. Jarak rumah dengan TK
memang cukup dekat. Sesampainya di rumah, aku langsung bercerita kepada
ibu. Aku memaksa ibu untuk menyuruh ayah pulang. Tapi ibu tidak
menjawab, dan hanya menangis.
***
4 tahun kemudian, aku duduk di
bangku SD kelas 2. Hari ini adalah hari terakhir aku bebas makan pagi,
siang, sore, malam. Karena besok aku harus puasa. Ya, besok memasuki
hari pertama bulan ramadhan. Sore nanti ibu mengajakku ke makam, katanya
mau ngasih bunga-bunga disana. Sore tiba, aku dan ibu pergi ke makam,
adik tidak ikut karena masih terlalu kecil. Sesampainya di makam, aku
dan ibu berhenti di sebuah nisan bertuliskan nama dan tanggal orang
tersebut meninggal. HERI SUPRAPTIONO, 21 JULI 1999, aku membaca tulisan
di nisan itu. Saat itu aku memang sudah bisa membaca, kan udah kelas 2
SD. Setelah membaca tulisan itu, aku tidak asing dengan namanya. Aku
seakan kenal dan tahu dekat tentang nama itu. Kemudian aku sadar bahwa
itu adalah nama ayah. Aku bertanya hal itu kepada ibu tapi ibu tidak
menjawab.
Kemudian kami pulang, setelah tiba di rumah, aku menanyakan hal itu lagi kepada ibu.
“buk, kenapa di makam tadi ada nama ayah?”, “makam kan tempat orang yang sudah meninggal?”
“iya nak, itu memang nama ayah”
“kenapa nama ayah ada disana?, ayahkan belum meninggal bu?”
“ayah kamu memang sudah meningla nak,”
“tapi kata ibu, ayah masih di rumah sakit?”
“ayah sudah meninggal nak”
Mendengar hal itu , aku seakan
tidak percaya. Aku menangis dan marah sama ibu, karena ibu tidak jujur
sama aku kalau ayah sudah meningal. Tapi seiring berjalannya waktu, aku
mulai bisa menerima itu semua. Mungkin ibu melakukan itu demi
kebaikanku. Ibu menganggap dulu aku tidak akan siap dengan semuanya dan
sekaranglah waktu yang ibu anggap aku siap mendengarkan semuanya.
***
Setelah kejadian itu, setiap
tangal 21 Juli, aku selalu keluar menatap bintang. Aku menganggap
bintang itu ayah, dan ayah akan selalu memancarkan cahayanya untukku
walaupun ayah tidak lagi bersamaku. Tapi perasaan kangen dan rindu
selalu ada dibenakku. Untuk mengungkapkan itu semua, biasanya aku
mengungkapkan semua perasaanku itu di diary untuk ayah.
Diary untuk ayah:
“ ayah, sudah 12 tahun ayah
pergi ninggalin aku. Mungkin ayah pergi karena kesalahanku. Seandainya
dulu ayah tidak mendekap dan melindungi aku, mungkin ayah sekarang masih
bisa hidup, walaupun aku yang harus pergi karena tidak terlindungi oleh
ayah. Ayah tau ngak, kalau selama ini aku kannnggggeeeennnn banget sama
ayah. Yah, sudah ribuan bahkan jutaan air mata ini menetes menangisi
kepergian ayah, karena jujur yah, aku belum rela kalau ayah pergi
meninggalakanku secepat ini. Ayah pergi ninggalian aku saat akau masih
3,5 tahun.ayah tahu kan, umur-umur segitu, seorang anak sangat
membutuhan kasih sayang dari orang tuanya yang lebih. Tapi aku, aku
tidak bisa mendapatka itu semua, walaupun masih ada ibu, ibu masih harus
tetap menjaga adik. Adik butuh kasih saying lebih dari ibu daripada
aku.
Ayah, sekarang aku sudah remaja.
Aku ingi hidup normal seperti remaja lainnya. Saat remaja lain
berbahagia dengan ayahnya. Pernah yah suatu hari, di kelas teman-teman
bercerita tentang ayahnya. Ayahnya yang pernah mebelikannya ini itu,
ayahnya yang pernah memeberi kado saat ultahnya, ayahnya yang selalu
mencium pipinya saat akan pergi sekolah, ayahnya yang selalu mengajak
jalan-jalan setiap hari minggu, ayahnya ynag pinter memasak, ayahnya
yang pinter melawak, atau apapun. Mereka semua berlomba menceritakan
kebaikan ayahnya masing-masing. Tapi aku?? Aku hanya diam membisu, aku
bingung apa yang harus aku ceritakan ke mereka tentang ayah. Aku ingin
bisa manceritakan ayah ke mereka. Aku ingin bilang ke mereka bahwa hanya
ayahku, ayah yang terbaik. Tapi aku nggak bisa yah, karena ayah udah
tiada. Ayah, saat-saat seperti itu, aku merasakan sakit yang begitu
besar, luka yang begitu perih, aku merasa hidupku sudah tidak berarti
lagi tanpa ayah disini. Aku ingin ayah kembali, disini, disampingku, dan
nggak akan pergi lagi.
Terkadang aku bertanya pada
Tuhan, mengapa dulu aku nggak ikut pergi sama ayah? Mengapa ayah pergi
sendiri? Apa gunanya aku disini tanpa kehadiran ayah?. Tapi saat itu
juga, aku sadar. Aku sadar kalau Tuhan masih sayang sama aku. Tuhan
memberi kesempatan aku untuk menikmati indahnya dunia. Walaupun
keindahan itu maya, karena hanya ayahlah satu-satunya sumber
keindahanku. Dan aku berfikir, mungkin ini cobaan untukku, cobaan yang
diberikan oleh Tuhan. Karena Tuhan tahu aku kuat dan tegar menjalani
cobaan ini.
Dan yang terakhir untuk ayah,
sebelum aku menghentikan goresan pena di buku diary ini, ayah, terima
kasih selama ayah hidup, ayah sudah buat aku bahagia, ayah sudah buat
aku tersenyum dan tertawa, terima kasih buat waktunya, terima kasih buat
semuanya. Dan asal ayah tahu aku nggak akan pernah lupa tentang
kenangan bersama ayah. Aku selalu sayang sama ayah, selamanya…… ”
Kini diary untuk ayah akan aku
simpan dan akan slalu menjadi semangat serta motivasiku untuk menjalani
kehidupakanku selanjutnya. Diary ini adalah kekuatan hidupku.
****
Kayak nya itu aja dari sebuah Cerpen Kasih Sayang : Diary Untuk Ayah
moga kalian suka dengan cerpen ini dan selalu tunggu ya cerpen apdetan
dari aneka remaja dari kiriman teman teman kalian yang akan di publish
disini dan buat teman teman yang hobi bikin cerpen dan puisi bisa kirim
kan karya kalian di email admin ya yang banyak gpp hehe
No comments:
Post a Comment