Jalanan yang sepi. Aku berdiri
di samping jendela kamar menatap sunyinya jalan yang hanya dilalui
beberapa orang yang lalu lalang. Berlari santai sambil mengirup sejuknya
udara pagi, itulah yang mereka lakukan. Mereka terlihat bahagia
menikmati suasana pagi bersama orang yang mereka sayangi. Jujur, aku iri
melihat mereka. Sangat iri.
Sekali lagi kutatap lekat sebuah
surat yang ada di genggaman tanganku. Mungkinkah ini hanya mimpi??
Atau… atau ini kenyataan?? Jika ini hanya sekedar mimpi, maka hanya satu
hal yang aku inginkan. Aku ingin segera terbangun dan terlepas dari
mimpi buruk ini. Hanya itu yang aku inginkan. Sesekali kutepuk pipi
kanan dan pipi kiriku. Hingga aku sadar, semua ini benar-benar
kenyataan.
“Sisy, kamu belum siap-siap ke sekolah? Sekrang udah pukul 06.00, Sisy.” kata mama sambil mengetuk pintu kamarku.
“Iya, mama . Tunggu sebentar.” Jawabku singkat.
Dengan
berat, kugerakkan kakiku secara perlahan menuju kamar mandi. Ya,
meskipun masih setengah sadar, tapi aku berusaha berjalan dengan normal.
Satu jam telah berlalu, aku sudah siap lengkap dengan seragam sekolah,
sepatu, tas dan perlengkapan lainnya. Kakiku yang mungil terus melangkah
membawaku ke ruang makan. Papa dan mama sudah duduk menungguku dari
setengah jam yang lalu.
“Gimana bobonya, Si? Nyenyak?” tanya mama.
“Nyenyak, Ma.”
“Sisy, mata kamu agak merah. Kamu abis nangis yah?”
“Ehm,,,, Nggak, Pa. Tadi kemasukan sabun pas lagi mandi, jadi merah gini deh.”
“Benar?”
“Iya, Papa.”
“Ya udah, kamu lanjut sarapannya. Ntar telat ke sekolah kalau cerita terus.”
Aku hanya tersenyum pada papa.
Aku merasa senang bisa duduk dan bercanda bersama mama dan papa. Menjadi
anak tunggal dari mereka membuatku bahagia dalam keluarga ini. Keluarga
yang harmonis dan saling menyayangi. Cukup melihat papa dan mama
tersenyum, sudah membuatku bahagia. Apalagi saat mencium mereka secara
bergantian sebelum berangkat sekolah. Aku sayang mama dan papa.
*
“Sy, kamu nggak lagi sakit kan?” tanya Gita padaku saat aku tiba di kelas.
“Sakit..?? Nggak. Aku sehat-sehat aja kok.”
“Tapi kamu kelihatan pucat dan lemas.”
“Mungkin
karena kurang tidur. Tapi ini bukan masalah besar kok.” Jawabku tenang.
Aku memang merasa lemas pagi ini, bahkan semangat belajarku hilang.
Saat belajar, pikiranku melayang entah kemana. Aku sendiri pun bingung
dengan apa yang aku pikirkan, bahkan pagi ini sudah ada tiga guru yang
menegurku karena aku sama sekali nggak fokus ke pelajaran.
“Sisy, kalau kamu lagi ada
masalah, cerita aja. Kamu jangan diam-diam gini.” Kata Gita setelah bel
tanda pelajaran usai siang itu.
“Gita, aku nggak lagi ada masalah.”
“Tapi, Sy..”
“Tapia apa?”
“Hari
ini kamu kelihatan beda. Seperti ada yang menganggu pikiran kamu.” Ucap
Gita lalu sesekali menggigit bibir bawahnya, menandakan ia agak ragu
untuk bertanya.
Sambil berjalan menuju parkiran mobil, aku terus meyakinkan Gita kalau aku benar-benar tidak punya masalah hari ini.
“Jangan khawatir, Git. Aku nggak punya masalah kok.”
“Tapi….”
Belum selesai Gita berbicara, aku sudah memotongnya dengan terbatuk
berkali-kali. Aku langsung menutup mulutku dengan tangan kanan dan tanpa
melepaskan tanganku dari mulut, aku langsung pamit pada Gita.
“Git, maaf. Kali ini aku nggak bisa ngantar kamu ke rumah. Aku buru-buru, ada urusan penting. Nggak masalah kan?”
“Nggak, Sy. Kamu hati-hati di jalan. Jangan ngebut.” Kata Gita.
Aku
pun masuk ke dalam mobil dan langsung tancap gas meninggalkan Gita yang
terus menatap mobil yang kukendarai hingga menghilang dari
pandangannya. Perlahan kulepas tanganku dari mulut. Dan dugaanku benar,
batukku tadi mengeluarkan darah. Aku tidak tahan melihatnya.
“Tuhan, apa artinya ini? Aku
takut dan aku tidak mau lagi menanggung semua ini…” Aku menjerit dalam
hati. Rasanya ingin langsung tiba di rumah dan mengurung diri di kamar.
Setiba
di rumah, aku langsung masuk kamar. Beruntung mama dan papa lagi nggak
ada di rumah, jadi mereka tidak akan melihatku dengan keadaan begini,
mata yang lembab dan tangan yang berlumuran darah. Belum selesai aku
membersihkan darah yang ada di tangan dan mulutku, aku kembali merasakan
sakit yang luar biasa. Dadaku terasa sakit, sangat sakit, seakan ada
yang mengirisnya.
“Tuhan, kenapa aku harus
menderita seperti ini? Kenapa penyakit ini kambuh lagi? Kenapa….?” Aku
berteriak seakan menolak semua ini. Aku tidak ingin mengulang kejadian
lima tahun yang lalu…
*
“Anak Bapak positif mengidap
kanker paru-paru. Dan sangat kecilkemungkinannya untuk dapat disembuhkan
secara total karena umurnya yang masih sangat muda.”
Kalimat
itu terdengar jelas di telingaku. Seorang dokter ahli kanker mengatakan
hal tersebut kepada papa saat kami sedang memeriksa kondisiku yang
sedang tidak sehat. Aku langsung shock mendengarnya. Bagaimana mungkin
di umurku yang baru 13 tahun ini, aku sudah positif mengidap kanker
paru-paru?? Aku sangat takut. Aku takut tidak akan bisa hidup lama, aku
takut jauh dari mama dan papa, dan aku takut tidak akan terbangun lagi
saat aku sedang tertidur pulas di atas ranjang rumah sakit.
Awalnya aku mulai batuk terus
menerus, seuruh badanku terasa nyeri, dahakku pun bercampur dengan darah
dan pada akhirnya dadaku terasa sangat sakit. Sangat-sangat sakit. Aku
berpikir apakah aku akan meninggal saat itu juga? Tapi mama dan papa
sangat menyayangiku, mereka melakukan segala cara untuk membuatku tetap
bertahan hidup.
“Jangan mau kalah sama penyakit.
Sisy harus bisa bertahan, harus kuat dan Tuhan tidak akan pernah
ninggalin kamu.” Aku masih ingat betul kata-kata mama saat aku akan
menjalani pengobatan kemoterapi. Meskipun umurku belum memungkinkan
untuk menjalani kemoterapi, namun aku siap menanggung semua rasa
sakitnya asalkan aku bisa sembuh.
Menjalani kemoterapi adalah
penderitaan terbesar dalam hidupku. Bagaimana tidak? Kemoterapi pertama
memang masih terasa normal, namun kemoterapi-kemoterapi berikutnya mulai
terasa mematikan. Tubuhku seakan menolak semua obat-obatan keras yang
dimasukkan ke dalam tubuhku melalui suntikan, melalui cairan infuse, dan
melalui proses kemoterapi itu sendiri.
Aku meronta kesakitan, sulit
bernapas, menggigil, mimisan, mual dan muntah, kulit jadi kering bahkan
aku harus merelakan mahkota terindah di kepalaku rontok hingga tak ada
satupun yang tersisa. Sungguh menyedihkan, aku sendiri tak kuat untuk
melihat keadaanku yang seperti ini. Air mataku jatuh, apalagi ketika
mama dan papa turut menangisiku. Sulit rasanya untuk menjelaskan
bagaimana isi perasaanku. Namun, perjuanganku tidak sia-sia. Aku bisa
sembuh dari kanker paru-paru. Ini semua berkat doa mama dan papa. Terima
kasih Tuhan, aku sayang mereka.
*
Sekali lagi kepegang dadaku yang terasa sangat sakit.
“Tuhan,
penyakit ini benar-benar kembali. Surat dari dokter yang aku terima
tadi pagi ternyata benar.” Aku duduk merenung. Aku tidak ingin melihat
mama dan papa menangis lagi. Sudah cukup semua penderitaan ini, aku
tidak ingin mengulang semua penderitaan dengan penyakit kanker. Dan
sudah aku putuskan, aku akan menyimpan rahasia ini sendiri. Kali ini aku
rela kalah dari kanker asalkan orang yang aku sayangi bisa tersenyum
bahagia. Mama, papa, maafin Sisy.
Satu bulan, dua bulan, dan tiga
bulan berlalu. Kanker ini mulai menyebar dengan cepat. Berat badanku
mulai turun, tubuhku lemas, dahakku selalu bercambur dengan darah dan
dadaku terasa sangat sakit setiap hari. Namun aku bersyukur, rahasia ini
masih tersimpan dengan baik, hanya aku dan Tuhan yang tahu. Entah
bagaimana caraku menyembunyikannya.
Pagi ini, aku terbangun dengan
cara yang aneh. Aku melangkah perlahan keluar dari kamar, keluar dari
rumah dan terus berjalan ke sebuah taman yang sangat indah yang terletak
tidak jauh dari rumah.
“Hari ini
kamu berulang tahun kan? Jadi silakan petik satu bunga yang ada di
taman ini. Ingat… hanya satu tangkai bunga saja.” kata seorang penjaga
taman yang ada di taman itu. Hari ini memang hari ulang tahunku, dimana
umurku genap 18 tahun.
“Sebaiknya aku mengambil dua tangkai bunga untuk mama dan papa.”
“Jangan. Kamu hanya boleh mengambil satu tangkai bunga.”
Aku
jadi bingung ingin mengambil bunga warna apa. Semuanya tampak cantik,
ada warna merah, putih, kuning, merah muda dan sebagainya. Namun ada
satu bunga yang sangat menarik perhatianku. Bunga itu berwarna merah
darah dan daunnya yang berwarna hijau layu.
“Ini bunga yang aku cari.” kataku sambil memetiknya.
Aku
lalu kembali ke rumah dengan perasaan yang ringan tanpa beban. Aku
bahkan sudah lupa kalau aku sedang mengidap penyakit kanker yang ganas.
Rasanya sangat lega..
Namun
setiba di rumah, aku melihat mama, papa dan Gita sahabatku sedang
menangisi seorang gadis yang terbaring di tempat tidur. Gadis itu
berpakaian sama seperti diriku.
“Mama, Papa, Gita … ini Sisy… Kenapa kalian menangisi gadis itu?” kataku sambil tetap berada di dekat pintu kamar.
“Ma... Pa… Kalian dengar Sisy kan? Ma,,, Pa,,, Gita,,,,?? Kenapa kalian nggak jawab?? Kalian dengar Sisy ngomong kan?”
Dengan agak kesal, aku lalu
melangkah mendekati mereka. “Ya Tuhan..” aku kaget dan bunga yang ada
digenggamanku terlepas. Gadis yang terbaring itu adalah diriku yang tak
bernyawa lagi.
“Tidak… ini tidak
mungkin..” aku mencoba menyentuh tangan mama, tangan papa, dan tangan
Gita. Namun tanganku tidak bisa merasakan apa-apa lagi. Kini aku hanya
menjadi roh yang tidak dapat dilihat manusia.
“Mama, Papa, Gita… maafin Sisy.
Sisy sudah memilih bunga merah darah dengan daun hijau layu lambang
kematian. Sisy sayang sama kalian. Maafin Sisy….”
No comments:
Post a Comment