Saya melihat wanita setengah baya di samping saya adalah sesosok yang luar biasa unik dan mengagumkan. Beliau adalah Ibu As, salah satu pengurus sekaligus pendiri sebuah Yayasan Pendidikan yang cukup terkenal, karena mempunyai beberapa cabang di Jabotabek.
Cerita seputar perjuangan menggelindingkan roda yayasan dengan tujuan utama dakwah adalah sebuah kisah yang inspiratif dan mengagumkan bagi saya, namun tidak masuk kategori unik, karena hal serupa juga dilakukan oleh banyak orang lain di muka bumi ini.
Di sini saya akan menuangkan kembali kisah perjalanan hidup kategori UNIK yang membuat saya semakin mengagumi Ibu As, wanita asal Padang yang berpenampilan bersahaja dan wajah dihiasi senyum menawan seorang Ibu.
Beliau mengaku mempunyai profesi lain adalah sebagai PENCARI JODOH, meski disampaikan bahwa kadang cerita perjodohan itu datang tanpa beliau rencanakan. Beliau menyimpulkan, inilah garis hidup yang ditentukan Allah buatnya.
Maka suka-duka seputar perjodohan yang mengalir dengan sangat jernih dan lancar itu menjadikan saya betah berlama-lama mendengarkan sambil sekali waktu interupsi..:)
” Sebenarnya Ibu sudah kapok setelah beberapa kasus perjodohan terakhir yang membuat hidup saya tidak tenang. Sampai Ibu sempat berjanji pada diri sendiri, untuk berhenti menjodohkan orang” begitu Bu As mengawali ceritanya.
”Sudah ya Allah….saya tidak akan ikut-ikutan atau membantu perjodohan jika seperti ini akibatnya” Begitu lanjut beliau.
Saya yang belum begitu mudeng malah menimpali ”Lah, kok bisa begitu Bu? Bukankah Allah menjanjikan sebuah pahala membangun masjid bagi siapa saja yang berhasil menjodohkan ?”
”Justru itu… dari sekian cerita perjodohan, memang tidak semua bermasalah ya Nak… Ada juga yang langgeng dan jadi keluarga sakinah…Tapi beberapa yang di tengah perjalanan menemui masalah, akhirnya Ibu kebawa-bawa lagi dan ikut disalahkan. Kenapa dulu memperkenalkan? Kenapa dulu menyarankan menerima pinangan? Kenapa dulu tidak kasih tau kalo si pria ternyata punya kebiasaan kurang baik?
Ibu selalu bilang sama mereka, silakan dipelari dulu, semua terserah pada yang menjalani, pikirkan berulang kali, dan shalat istikharah-lah agar Allah memantapkan hatimu, atau sebaliknya, dan bla bla bla…. Namun saat akhirnya mereka menikah dan menemui batu-batu sandungan, mereka larinya ke Ibu….Ibu jadi ikut pusing juga”
Begitu panjang lebar si Ibu menuangkan uneg-uneg-nya…sambil menceritakan dengan detail komplain-komplain yang ditujukan kepada beliau. Saya mengangguk-angguk memahami, ternyata benar-benar ruwet juga kasusnya…Si Ibu jadi ikut sibuk melerai pertengkaran, mendatangkan penasehat pernikahan, dsb dll L
”Oooh….sekarang saya paham Bu…Kenapa Allah menjanjikan pahala masjid buat orang yang berhasil menjodohkan sebuah pasangan. Ya karena resiko tingkat tingginya itu Bu!” Begitu saya menarik kesimpulan.
Tidak semua orang ternyata menyadari bahwa keputusan besar dalam hidup berupa : PERNIKAHAN, adalah sebuah keputusan dewasa dimana diperlukan komitmen tinggi dalam menjalaninya. Ia sendirilah yang bertanggungjawab secara penuh atas apa yang telah diputuskan dalam melengkapi sebagian agamanya.
Namun, kembali….takdir menghampiri Bu As di penghujung tahun 2010 lalu. Di saat beliau sudah kapok dengan profesi Pencari Jodoh, sebuah takdir kembali menghampiri.
Karena kantor beliau pindah ke daerah Petamburan, setiap hari beliau menggunakan KRL pulang-pergi.
Suatu ketika saat menunggu kereta pulang ke Bekasi, di Stasiun Tanah Abang beliau melihat seorang pemuda berpenampilan agak kumal berdiri dan sibuk menghitung uang recehan yang terlihat berantakan dan bergumpal-gumpal. Jiwa keibuan Ibu As mendorongnya untuk menghampiri si pemuda itu ”Ngitung uangnya jangan disini Nak….bahaya..! Coba menyingkir sebentar sana…ke toilet atau kemana…cari tempat yang lebih aman!”
Si pemuda agak kaget menerima perhatian yang tiba-tiba dari seorang Ibu yang baru dilihatnya….”Ohh….Iya-iya....” sambil tersenyum ia berlalu begitu saja menuju ke toilet terdekat.
Esoknya di waktu yang hampir sama, seseorang mendekati Bu As yang berdiri sedang menunggu KRL….”Oh kamu…..mau pulang kemana?” Begitu sapa Bu As menyadari yang menghampirinya adalah pemuda yang kemarin sempat ia tegur saat menghitung uang di depan umum. Mereka berkenalan dan mulailah ngobrol kesana kemari.
Pemuda itu bernama Emon, dan rupanya berasal dari daerah yang sama dengan Bu As, yaitu Padang. Dan kesamaan kampung halaman tersebut menambah keabraban di antara mereka.
”Bu As…..saya mempunyai firasat tentang Ibu. Bahwa Ibu adalah orang yang akan mempertemukan saya dengan jodoh saya” Begitu Emon mengungkapkan dengan mimik sungguh-sungguh.
”Ah…jangan sok tau deh ya….Darimana kamu tau? Kamu baru kenal Ibu di sini….dan biarpun selama ini Ibu memang suka menjodohkan orang,….Ibu sekarang sudah kapok Emon….jadi tolong jangan bawa-bawa Ibu ke ranah perjodohan lagi deh. Ibu ga mau pusing. Udah ya….” Begitu Bu As berlalu, khawatir tambah ’diprospek” lagi oleh kenalan barunya.
Namun Emon terus saja membuntuti Bu As hingga beberapa hari kemudian. Emon bahkan dari membujuk hingga memohon pada Bu As untuk ikut pulang ke Bekasi.
”Hei…jangan macam-macam kau Mon…..Apa kata suami dan anak-anak Ibu kalau pulang ngajak orang lain? Saudara bukan…kerabat bukan. Ada-ada saja …! Lagian mau apa kamu ikut Ibu pulang?”
Di rumah, Bu As menceritakan kegalauan kepada putra-putrinya yang sudah menginjak dewasa semua. Juga kepada sang suami yang adalah anggota Angkatan Darat.
Mereka hanya bisa menenangkan dan mengatakan, jika memang si Emon kekeuh minta diajak pulang, mereka menyarankan Bu As untuk mengajaknya saja. Pengen tau juga, apa yang akan dilakukan kenalan barunya.
Benarlah…esok harinya Emon menunggu Bu As di peron langganan. Ia bahkan sudah membawa tas berisi ganti pakaian seoah-olah ia telah diijinkan Bu As untuk ikut pulang ke Bekasi.
Singkat cerita, Emon jadi ikut pulang dengan KRL sampai Stasiun Bekasi, dan nyambung pakai angkot 2x hingga sampai rumah Bu As.
Di rumah Bu As, Emon disambut seperti layaknya saudara…Emon berkenalan dengan anak-anak dan suami Bu As.
Saat Bu As ke belakang, salah satu putri Bu As membisiki ibunya…”Mah, kenapa ga coba dikenalkan ke si Nn? Dia sudah waktunya menikah juga kan?”
Bu As lalu bilang “ Huss, yang benar saja kamu….! Nn kan anak orang berada. Dia juga cukup cantik, apa nanti nggak disangka kita meremehkannya? Merendahkan keluarganya?”
”Lah emang Emon itu seperti apa Bu? Parah banget kondisinya?” Begitu saya menyela.
”Ya secara fisik memang seperti agak-agak kurang gitu Nak… Giginya beberapa ada yang tanggal, dan wajahnya sedikit miring. Pertama kali orang melihatnya, mungkin dianggap ”agak-agak kurang” gitu lah….” Bu As menjelaskan bahwa secara fisik, Emon bukan saja tidak ”good looking”, tapi cenderung berpenampilan ”ganjil”
”Tapi secara pribadi…saya tahu dia baik, meski saya belum tahu asal usul sebenarnya, selain tau kalo dia hidup sebatang kara di sini” Cepat-cepat Bu As menambahkan.
Saya mengangguk-angguk, lalu bertanya ”Terus kalo Nn sendiri….Ibu bilang cantik. Terus secara pribadi juga baik ga?”
”Ya baik….tapi orang-orang sih melihatnya juga agak ganjil. Maksudnya secara psikologis dia juga sepertinya ada kelainan. Pokoknya gitu deh….ga seperti orang-orang kebanyakan” Bu As menjelaskan, tapi sebenarnya saya hanya berhasil menebak-nebak, yang entah benar entah tidak apa yang saya tangkap. Bahwa si Nn juga menderita sedikit keterbelakangan mental.
Reaksi spontan Bu As terhadap usul putri bungsunya rupanya menyisakan perasaan lain. Sebuah panggilan sama seperti sebelum-sebelumnya…..untuk mencoba mempertemukan dua insan yang sama-sama sedang mencari jodoh. Perasaan yang sulit untuk menjelaskannya, namun menjadikan Bu As merasa bersemangat menjalani sebuah proses perjuangan Pencarian Jodoh.
”Nak…Mama pikir-pikir, usul kamu ada bagusnya….Emon sudah sampai rumah kita. Terus kalo kita ga bantu dengan ikhtiar, buat apa juga dia sampai jauh-jauh ikut ibu kemari. Mama punya ide sekarang.
Pertama, kita panggil aja Nn, kita kenalkan, sambil kita tanya, apakah dia berminat menjadi istrinya Emon. Jika sampai Nn ternyata bersedia, maka kita harus minta Emon untuk membawa kita ke kampungnya di Rangkas Bitung. Supaya kita bisa membuktikan apa yang dia ceritakan. Bahwa dia adalah pedagang boneka di Pasar Tanah Abang, dll. Kita bisa minta kesaksian pada tetangga-tetangganya.”
Singkat cerita, Nn yang tinggal tak jauh dari rumah Bu As dipanggil dan dipertemukan dengan Emon malam itu juga.
Bu As meminta Nn untuk shalat Istikharah, dan menunggu jawaban di esok paginya.
Dan benarlah, Nn datang kembali ke rumah Bu As, dan mengatakan jawaban yang sungguh tak diduga-duga ”Bu As, saya sudah tanya pada guru ngaji saya, dan juga sudah shalat Istikharah. Saya yakin, Emon adalah jodoh saya…..”
Lalu seperti yang sudah direncanakan, Bu As didampingi putrinya ikut Emon mudik ke Rangkas Bitung, untuk meng-cross check kebenaran cerita Emon.
Benarlah adanya….Emon mempunyai sebuah tempat tinggal yang mirip gudang, berisi penuh boneka-boneka yang siap dikirim ke Pasar Tanah Abang. Tetangga-tetangga mencatat Emon sebagai pekerja keras, dan baik budi.
Proses taaruf tidak berjalan mulus, karena orang tua Nn semula menentang perjodohan itu. Mereka merasa bahwa putrinya layak mendapat pria yang jauh lebih baik dari Emon, baik secara fisik maupun secara status dan taraf hidup.
Namun karena kebulatan tekad sang putri akhirnya orang tua Nn akhirnya menyerah dan menyetujui pernikahan mereka.
Di hari bersejarah itu, Nn didampingi saudara-saudaranya menggunakan kendaraan sedan menuju KUA, setelah sebelumnya mampir ke rumah Bu As menjemput calon mempelai pria.
”Bu As, mohon maaf kendaraan kami kecil…jadi Ibu ga ikut ke KUA ga apa apa kan?” Begitu salah satu keluarga Nn menyampaikan bahwa Bu As tidak bisa diajak serta.
”Oh ya ga apa-apa….saya sudah senang jika acaranya berjalan lancar…karena saya benar-benar hanya berniat membantu saja” Bu As menjawab dengan menyembunyikan wajah kecewanya.
”Bu As…saya di sini sebatang kara. Ibu tau kan? Saya menganggap Ibu As dan keluarga di sini adalah pengganti keluarga di kampung. Jadi mohon, dampingi saya yah Bu….saya mohon….” Begitu Emon memohon belas kasihan.
“Ya sudah….pergilah dengan mereka dulu ya Mon…Ibu dan anak-anak akan menyusulmu segera” Bu As menepuk-nepuk pundak Emon, menyalurkan semangat dan melimpahkan kasih sayang seorang Ibu yang dibutuhkan.
Bu As dan anak-anak serta suaminya ‘nyarter” koasi menuju KUA Bekasi, demi mendampingi kenalan barunya yang baru saja bertemu jodoh, melalui Bu As sebagai perantara.
Singkat cerita, Emon dan Nn hidup bahagia dan bahu-membahu dalam menjalankan profesinya sebagai pedagang boneka. Sungguh tak dapat dikalkulasi dengan perhitungan akal sehat dan logika manusia, jika akhirnya bisnis tersebut bertumbuh dengan pesatnya, sehingga mereka menjadi saudagar boneka di Pasar Tanah Abang, sebuah pasar tradisional terbesar di Kawasan Asia.
Mereka berhasil membangun sebuah rumah di bilangan Jakarta, hidup berkecukupan dan bahkan bisa membantu sanak saudara.
Bahkan Bapak-Ibu Nn yang dulu sempat menentang pernikahan mereka, kini menggantungkan hidup pada menantu dan sang putri, setelah mereka memasuki usia pensiun.
Kebahagiaan pasangan unik itu dilengkapi dengan kehadiran sepasang anak yang lucu, cantik, dan rupawan….secara fisik tentu bagai langit dan bumi dibanding orang tuanya yang “kurang sempurna”.
Subhanallah…..saya merinding mendengar kisahnya.
Saya terdiam….uraian cerita Bu As sungguh membangkitkan kesadaran tertinggi saya di hari itu…untuk memaksa hati dan jiwa saya tertunduk di hadapanNya. Ibu yang menjadi teman perjalanan Jakarta-Bandung-Jakarta dalam acara field trip sekolah di bawah pimpinannya, adalah satu sosok luar biasa.
Respect dan kegaguman saya terhadap wanita itu menjadi jauh lebih tinggi setelah mendengar kisah-kisah perjuangannya dalam mempertemukan jodoh. Dan kisah Emon-Nn adalah kisah menakjubkan yang pernah saya dengar. Sungguh sebuah kisah yang menunjukkan dengan terang benderang kebesaran dan kekuasaan Allah secara sempurna. Dia selalu sibuk mengatur berbagai cerita seru, kisah menakjubkan, peristiwa mengagumkan yang bertebaran di muka bumi…..sebagai pembelajaran bagi siapa saja yang mau berfikir dan meyakini keagunganNya…
No comments:
Post a Comment