Friday, August 17, 2012

Aku Menunggumu Seumur Hidupku


Usianya sudah tidak bisa dikatakan muda lagi. Tiga puluh tujuh tahun. Jauh lebih tua dari pada saya. Namun saya tidak memanggilnya dengan sebutan Kakak, Mbak, Uni atau panggilan lain yang menunjukkan dia lebih tua dari saya. Saya langsung saja memanggilnya Lis dan dia memanggil saya Umi, sebutan yang biasa disematkan kepada diri saya oleh saudari-saudari yang memenuhi rumah saya setiap hari Ahad untuk belajar Islam. Saya sengaja memanggilnya begitu agar dia tidak merasa berbeda dengan teman-teman lain yang usianya jauh lebih muda.
Hari itu kami bertemu untuk mempersiapkan prosesi ta’arufnya dengan seorang lelaki yang berniat untuk menjadikannya istri. Alhamdulillah, seru saya dalam hati. Tidak mudah mencarikan jodoh untuk seorang gadis dengan usia sebanyak itu. Meskipun dulu saya menikah tidak terlampau muda, namun sekarang ini saya sudah dikaruniai empat orang anak. Yang sulung sudah menjadi gadis cantik. Itulah sebabnya hati saya berdebar-debar menyongsong peristiwa hebat yang akan dijalani oleh Lis di usianya yang matang ini.
Sembari menunggu suami saya selesai berbicara dengan pihak lelaki di balik tirai surau tempat dilaksanakannya ta’aruf, saya terlibat percakapan kecil dengan Lis. Saya bertanya tentang perasaannya dan masa depan yang diharapkan. Dengan terus terang dia mengatakan bahwa sering lelaki datang mengungkapkan perasaan untuk menikahinya namun ia tolak. Pernah datang seorang lelaki baik-baik ingin memperistrinya namun ia tolak karena usianya jauh lebih muda. Pernah juga ada yang ingin mengawininya tapi Lis tidak mau sebab lelaki ini tak shalat dan perokok berat. Terakhir datang seorang laki-laki yang jujur mau menjadikannya sebagai istri kedua. Namun lagi-lagi Lis menolak.
“Kenapa?” tanya saya
“Saya tidak sampai hati menyakiti istrinya,” katanya dengan lirih.
Seterusnya saya lanjutkan perbincangan kami dengan pertanyaan sepele namun serius. Saya menanyakan bagaimana caranya untuk memperoleh suami yang diidamkan. Dengan menunduk, dia berkata menyerahkan sepenuhnya kepada saya.
“Kenapa?”
“Saya percaya dengan Umi. Insya Allah itu yang terbaik,”
“Nggak nyari sendiri? Pacaran kayak yang lainnya,” kata saya memancing reaksinya.
Lis memandang saya dengan tatap mata nanar.
“Kalau saya memang mau pacaran, tentu saya sudah melakukannya sejak dulu. Ketika saya masih muda dan cantik.”
Kata-katanya tajam menghujam hati saya. Saya pun teringat dengan diri sendiri. Sejak mengenal Islam di pertengahan masa SMA, saya sudah berkomitmen untuk menghijabi diri dengan sungguh-sungguh. Menjaga diri dari pergaulan bebas, bahkan interaksi sesama ikhwan-akhwat yang terkadang ada biasnya. Saya ingin betul-betul menjumpai calon suami saya kelak dengan kebersihan hati dan kesucian diri total. Bahwa saya mempersiapkan diri dalam tahun-tahun panjang penantian perjumpaan dengannya hanya karena Allah. Saya ingin menyampaikan kepadanya bahwa saya telah menunggunya seumur hidup saya.

No comments:

Post a Comment