Monday, October 6, 2025

“Payung Ajaib Rani”

 Pagi ini hujan turun malu-malu. Langit seperti sedang curhat, menumpahkan air mata kecilnya di atap rumah. Rani menatap keluar jendela sambil menguap.

“Wah, luar biasa! Hujan datang pas aku mau berangkat sekolah. Hebat banget nasibku!” katanya dengan nada yang jelas tidak seceria kata-katanya.

Ia mengambil payung biru tuanya yang sudah robek sedikit di pinggir. “Kamu masih kuat, kan? Jangan mogok di tengah jalan,” katanya sambil membuka payung itu perlahan. Payung itu seolah menatap Rani dengan tatapan lelah, tapi tetap terbuka, siap menemaninya.

Ketika Rani melangkah keluar, angin tiba-tiba bertiup kencang. “Wow, terima kasih, angin! Kamu benar-benar tahu caranya bikin rambut berantakan,” kata Rani dengan nada sarkas sambil menahan tawa.

Meski begitu, ia tetap berjalan dengan payung tuanya, tertawa kecil di bawah hujan yang semakin deras. Hujan seolah menari-nari di atas payungnya, membuat pagi yang kelabu terasa lebih hidup.

Hujan di Ujung Jalan

Senja itu tampak murung. Langit menangis pelan, meneteskan air mata yang jatuh di jalan berdebu desa. Sari berjalan pelan, membawa selembar surat lusuh yang baru saja dikembalikan dari sekolah kota. Ia gagal lolos beasiswa. Lagi.

"Hebat, ya," gumamnya lirih sambil menatap langit yang makin gelap. "Kerja keras berbulan-bulan cuma buat dapat kata maaf."
Nada suaranya tenang, tapi ada getir yang menempel di setiap kata.

Di pinggir jalan, angin berlari-lari kecil, seperti sedang mengejek langkah lelahnya. Daun-daun kering menempel di sepatu butut yang sudah lama tak diganti.

Sari tertawa kecil, sinis.
“Lucu, dunia memang tahu caranya bercanda. Orang malas bisa sukses karena kenal orang dalam, sementara aku—yang belajar sampai lupa makan—hanya jadi penonton.”

Ia berhenti sejenak di depan rumah kecilnya yang mulai kusam. Dari dalam terdengar suara ibunya, lembut namun penuh harap. “Gimana hasilnya, Nak?”

Sari menarik napas panjang. “Kali ini... belum rezeki, Bu.”

Langit seolah mengerti. Hujan turun sedikit lebih deras, menutupi air mata yang diam-diam ikut jatuh di pipinya.

Sunday, October 5, 2025

“Sahabat dari Dunia Awan”

Suatu sore yang cerah, Nara, seorang gadis kelas 7 yang gemar melamun, duduk di taman belakang rumahnya sambil menatap langit. Ia selalu membayangkan ada dunia lain di balik awan. Dunia tempat makhluk-makhluk baik hati tinggal dan menjaga bumi.

Tiba-tiba, kilatan cahaya turun dari langit. Dari sana muncul sosok kecil bersayap putih kebiruan. Tubuhnya berkilau lembut seperti kapas yang terkena sinar matahari.

“Siapa kamu?” tanya Nara dengan mata terbelalak.

“Aku Lumo, penjaga awan,” jawab makhluk kecil itu sambil tersenyum. “Aku datang karena mendengar hatimu sering berbicara dengan langit.”

Sejak hari itu, Nara dan Lumo menjadi sahabat. Setiap sore, mereka berbincang di taman. Lumo mengajarkan Nara arti keberanian dan kebaikan.
Namun, suatu hari, langit menjadi gelap dan petir menggelegar. Lumo terlihat gelisah.

“Badai hitam akan datang. Dunia awan sedang diserang oleh makhluk kabut jahat,” katanya panik.

Nara menatapnya dengan khawatir. “Apa aku bisa membantu?”
Lumo mengangguk. “Kau memiliki hati yang bersih. Hanya manusia berhati tulus yang bisa menyalakan cahaya awan.”

Dengan keberanian luar biasa, Nara memegang tangan Lumo. Cahaya biru keluar dari tangannya dan naik ke langit. Perlahan, badai reda, dan sinar matahari kembali muncul.

Lumo menatapnya bangga. “Kau pahlawan dunia awan, Nara. Tapi kini aku harus kembali.”
“Terima kasih, Lumo,” kata Nara. “Kau sahabat terbaikku.”

Saat itu, Lumo perlahan menghilang bersama sinar langit. Nara tersenyum, menatap awan yang tampak seperti wajah sahabat kecilnya. Sejak saat itu, ia selalu percaya bahwa imajinasi bisa menjadi kekuatan nyata.