Monday, January 7, 2013


ANGGREK DI TEPI KAWAH

Anggrek-anggrek itu tumbuh menghiasi pinggiran rumah pengantin muda Kintya dan Karel, tampak sang istri sibuk menyirami anggrek kesayangannya itu sementara sang suami melahap roti dan sereal sesekali melihat aktivitas istrinya. Dia masih seperti yang dulu, selalu kepayahan dalam mengurusi berbagai tanaman tapi dia tetap bersemangat sampai akhirnya dia mempunyai taman bunga di pinggiran rumah. “Tidak bisakah kau cepat menyelesaikan makanmu?” Teriak Kintya dari luar. Seperti biasa, Karel menyunggingkan senyum. Senyuman itu satu-satunya senyum yang mampu membuat Kintya berhenti sejenak beraktivitas. “Aku sudah selesai sejak tiga menit yang lalu.” Dengan sigap Kintya menyimpan selang air dan menghampiri Karel, lalu membawakan tas medis suaminya itu. “Jangan lupa makan siang ya.” Pesan Kintya pada Karel. Pesan yang sama dia ucapkan beberapa tahun yang lalu. Seperginya Karel, Kintya segera ke toko buku miliknya yang terletak di ujung jalan, sesampai disana Kintya membuka pintu dan membalik tulisan CLOSE menjadi OPEN. Beberapa menit kemudian orang-orang kebanyakan remaja berlalu lalang memenuhi toko kecilnya. “ Mba Kintya ada novel baru?” Tanya Alin, anak SMA yang sering menghabiskan waktu di tokonya. “Yang kemarin terbit masih ada, aku udah ada ide bikin lagi. Doakan ya. “ Jawab Kintya sambil tersenyum simpul. “Cepat selesai ya mba, Alin tunggu.” Jawab Alin sambil menyerahkan buku yang akan dia pinjam dan dia beli. Kintya merapikan buku di rak pribadinya, matanya tertuju pada foto lusuh dia dan Karel saat SMA dulu. Ketika mereka bersahabat.

Kintya berjalan cepat untuk menyejajarkan langkahnya dengan Karel. “Heh, kamu udah makan siang?” Tanya Kintya. Karel menggeleng dan terus melangkah. Buru-buru Kintya menarik pergelangan tangan Karel paksa dan menyeretnya.
“ Apa apaan sih?” Kata Karel.
“ Kamu harus makan, ibu udah bawain bekal buat kamu.” Jawab Kintya sambil menyodorkan bekal makanan.
“ Kenapa bukan kamu yang buatin sih? Sesekali kamu dong.”

Kintya melengos dan melenggang pergi. Bodo amat dengan teriakan Karel. Dia benci saat Karel mengatakan hal itu, dia tidak bisa dan tidak pernah berhasil memasak. Hal itu yang menyebabkan dia membenci dapur dan segala hal yang ada hubungannya dengan aktivitas dapur.
“Hei ko ngambek sih? Nih udah aku abisin.” Kata Karel yang tiba-tiba muncul di hadapan Kintya. Tanpa menjawab, Kintya memasukkan kotak bekal ke dalam tasnya dan beranjak pergi.
“Maaf deh, ga lagi-lagi nanyain itu.” Kata Karel.
“Aku akan memaafkanmu kalo kamu mau mengerjakan PRku.” Jawab Kintya sekenanya sambil memberikan smirk pada Karel. Anak ini benar-benar tidak bisa berhenti meracau kehidupan Karel, lebih bodoh lagi Karel tidak bisa berhenti menolaknya.

Tidak terasa bulan depan Karel ujian nasional, itu tandanya mereka akan semakin jarang bertemu. Hubungan keduanya memang tidak hanya bisa dibiang teman, namun mereka enggan memperjelas hubungan mereka mungkin mereka sudah cukup nyaman seperti ini.
“ Rel, kamu mau lanjut kuliah dimana?” Tanya Kintya sambil melahap eskrim vanillanya.
“ Di Bandung aja.” Jawab Karel singkat. Kintya mendelik mendengar jawaban Karel.
“Loh, ga jadi di Jerman?” Kintya balik bertanya. Karel menggeleng cepat.
“ Aku pikir lebih baik disini. Aku udah terbiasa dengan kamu.”
Mendengar jawaban Karel, Kintya hanya melongo. Apa maksudnya Karel batal ke Jerman apa karena Kintya terbiasa meminta Karel mengerjakan PR matematikanya? Atau karena Kintya tidak bisa memasak? Atau karena Kintya tidak berhenti merengek dan hobi mengganggunya? Segitu khawatirkah Karel akan kehidupan Kintya yang mungkin akan berjalan tidak normal dari sebelumnya tanpa Karel. Kalo salah satunya benar, Kintya benar-benar harus berpikir keras untuk membuat Karel tetap pergi ke Jerman. Jangan-jangan ada gadis yang Karel suka. Ah entah apapun alesannya Kintya tidak ingin melihat Karelnya yang cerdas hanya sekolah di Bandung.
“ Tujuh tahun itu lama banget Kin.” Jelas Karel. Kintya diam, berpikir, dan membenarkan ucapan Karel. Tujuh tahun itu lama dan pasti banyak yang akan terjadi, bisa saja saat Karel kembali dia akan kehilangan Karel. Kintya menggigit-gigit bibir bawahnya, ingin Karel tetap disini tapi Kintya juga tidak boleh egois.
Ada yang aneh dari Kintya, akhir-akhir ini Kintya tidak pernah meminta Karel mengerjakan PRnya, Kintya sulit ditemui dan dia tidak pernah mengingatkan Karel makan siang terlebih dari itu Kintya tidak membawakan bekal buatan ibunya untuk Karel. Karel merasa Kintya berubah tapi kenapa, tidak taukah Kintya bahwa perbuatannya membuat hidup Karel sedikit hampa. Hingga menjelang ujian nasional Karel sedikit tidak berkonsentrasi karena perubahan sikap Kintya yang begitu drastis. Pada suatu ketika pengumuman ujian nasionalpun tiba, sudah ditebak bahwa Karel Adyasta Ibrahim lulus dengan nilai terbaik. Hp Karel berdering, tanda sms masuk. Dari Kintya, mengejutkan sekali. Setelah hampir dua bulan Kintya menghilang dia kembali muncul.
From : Kintya <085647xxxxxx>
Cieeee, pasti jadi juara. Selamet ya. Sebelum brkt ke Jerman, bisakah ajak aku ke kawah putih? Plizzzzzzzzzz T.T

Membaca sms dari Kintya, refleks Karel tersenyum. Ini benar-benar Kintyanya. Dua hari berikutnya, Karel memenuhi apa yang diinginkan Kintya. Keduanya berangkat ke kawah putih di daerah Ciwidey pukul 08.00 pagi. Kintya dan Karel tampak asik menikmati pemandangan yang ada, mereka memotret diri mereka dan tertawa bersama.
“Ayo makan.” Ajak Kintya.
“Mau makan dimana?” Tanya Karel.
“Tenang. Aku udah bawa.” Jawab Kintya sambil tersenyum.
“Oh, aku kangen masakan ibumu Kin.”
“Habiskan ya.”
“Oh ya, kamu harus jadi ke Jerman ya Rel.”
“Kenapa?”
“Karena aku udah bisa mengerjakan PR sendiri, aku udah ga merengek sama kamu lagi, aku udah bisa sendiri Rel. Sekarang saatnya kamu buat wujudin cita-citamu. Dr. Karel Adyasta Ibrahim.”
“Jadi selama ini kamu menghilang karena itu?”
“Aku pikir kamu gamau pergi gara-gara aku sering kepayahan kan disini. Ga usah khawatir, semua baik-baik aja Rel. Kapan ke Jerman?”
“Lusa. Itupun kalo jadi.”
“Yak, kamu pasti jadi berangkat. Oh ya, ini ada titipan dari ibu dan aku.” Kintya menyerahkan kado yang berisi baju hangat dari ibunya dan enam pasang kaos kaki tebal dari dirinya. Di Jerman ada musim dingin, pasti hadiahnya akan sangat berguna sekali.
“Makasih ya Kin. Maaf aku malah gabisa ngasih kamu apapun.”
“ Jaga diri baik-baik ya. Jangan lupa...” Belum sempat Kintya menyelesaikan kalimatnya, Karel dengan cepat memotong kalimat Kintya.
“ Makan siang kan? Tentu.” Mendengar jawaban Karel, Kintya tersenyum kikuk. Mereka berdua memutuskan untuk kembali ke rumah, di tengah perjalanan menuju ke parkiran Karel melihat ada bunga anggrek bulan dijual di pinggiran kawah putih. Karel menghampiri penjual itu dan membeli satu pot anggrek. “ Ini buat kamu, anggep aja kenang kenangan dari aku.”Kata Karel sambil menyerahkan anggrek itu pada Kintya.
“ Kamu sengaja ya mau bunuh anggrek ini ?” Kata Kintya sengit. Karel sudah tau Kintya pasti akan memprotes ini. Dia hanya nyengir.
“ Karena aku yakin kamu bisa Kin.” Jelas Karel. Kintya mendengus dan hanya terdiam ketika Karel mengajaknya masuk mobil. Sepanjang perjalanan keduanya hanya diam, entah karena tidak ada bahan pembicaraan, keduanya lelah, atau mereka menikmati pemandangan sepanjang jalan. Bosan dengan keadaan ini, Karel mencoba mencairkan suasana.
“ Kita tetep komunikasi ya, sesekali kita akan video call lewat YM.” Kata Karel dengan mata yang tetap lurus menghadap jalan.
“ Hemmm.” Kintya menjawab dengan gumaman.
“ Inget kamu udah kelas tiga kalo bisa kurangi deh baca novelnya diganti sama baca materi ujian. Novel buat sesekali aja.” Jelas Karel lagi. Kintya hanya menjawab dengan gumaman.
“ Dan yang paling penting jangan suka ngelamun, apalagi objeknya Karel.” Kata Karel sambil terkekeh. Kintya menoleh dengan geram namun Kintya enggan membantah atau membantai Karel, karena besok Karel harus berangkat. Kintya tidak ingin nantinya ketika dia membantai malah air matanya yang keluar. Kintya akan sangat merindukan Karel. Untuk menahan hasratnya itu, Kintya memilih tidur.
“ Kin, bangun udah sampe.” Kata Karel sambil menepuk pipi Kintya pelan. Kintya tak bergeming. Karel mencoba sekali lagi membangunkan Kintya tapi tetap tidak ada perubahan, sepertinya Kintya benar benar kelelahan. Karel memutuskan untuk menggendong Kintya. Usai membawa Kintya masuk, Karel sempat berbincang sebentar dengan ibu Kintya sekalian pamit karena besok dia harus berangkat ke Jerman.

Paginya, Kintya bangun jam delapan. Dia sempat bangun jam lima untuk sholat subuh tapi dia tidur lagi. Kintya melirik jam dan segera terlonjak dari ranjangngya. Pesawat Karel terbang jam delapan dan sekarang jam delapan tepat, apa Kintya masih bisa mengejar Karel. Sementara itu Karel tak henti hentinya menatap jam tangan dan melihat keluar, Karel berharap bisa bertemu Kintya untuk terakhir kalinya. Waktu terus berputar, panggilan untuk penumpang pesawat tujuan Jerman semakin lama berkoar. Karel masih berharap Kintya datang namun sia sia, kemana Kintya? Apakah anak itu tidak ingin melihat Karel untuk terakhir kali? Apakah anak itu tidak akan merindukan Karel seperti Karel yang merindukan Kintya. Sekali lagi panggilan untuk penumpang pesawat ke Jerman berkumandang, Kintya benar benar tidak datang. Karel berjalan gontai menuju pesawat sambil sesekali menengok ke belakang, siapa tau ada Kintya disana. Sayang sekali Kintya tidak muncul. Setengah jam kemudian Kintya tiba di bandara dan berlari menuju pintu penerbangan luar negri. Kintya menanyakan ke bagian informasi apa pesawat keberangkatan ke Jerman sudah berangkat, tentu saja jawabannya sudah. Kintya lemas, percuma dia kesini padahal dia kesini tanpa persiapan apapun. Dia belum sempat mandi ataupun sarapan. Kintya keluar bandara dengan langkah terseok seok. Masih bisa komunikasi ko, pikirnya. Oh Kintya ingat satu hal, mereka berdua belum sempat membuat akun YM dan bertukar email. Kenapa musibah kompak banget sih datangnya, tidak bisakah musibah ini tidak menimpanya tapi menimpa orang lain saja. Kintya tidak ingin ada hari esok, dia hanya ingin lima tahun cepat berlalu dan keadaannya masih baik baik saja. Lima tahun berlalu tanpa komunikasi dan tanpa Karel, hari hari Kintya berlalu tanpa variasi hanya toko buku, rumah, sesekali berkumpul dengan temannya di sekolah menulis. Lulus dari SMA Kintya tidak meneruskan kuliah, dia ikut sekolah menulis milik Primadona Angela. Terbukti dia sudah menerbitkan tiga novel dengan dua novel menjadi juara novel terbaik. Uang dari hasil terbitan novelnya dia gunakan untuk menyewa rumah untuk toko bukunya. Letak toko buku itu sangat strategis dan sudah setahun berdiri penghasilan Kintya lumayan untuk membiayai kehidupannya dan ibu dirumah dan membeli rumah sewa toko bukunya. “ Masih menunggu orang dari Jerman itu.” Kata Linda, temannya dari sekolah menulis. Kintya hanya tersenyum dan melanjutkan menyiram anggrek di depan tokonya. Anggrek pemberian Karel tumbuh dengan baik bahkan Kintya memperbanyak anggrek itu di rumah dan toko bukunya. “ Mau sampe kapan sih Kin? Kamu mau nunggu lima tahun lagi? Apa menurutmu dia juga menunggumu?” Cecar Linda. Kintya tidak pernah bisa menjawab pertanyaan Linda yang satu ini, karena Kintya sama sekali tidak pernah memikirkan hal itu. “ Sampai anggrek ini mati atau sampai dia kembali.” Jawab Kintya sambil mempersilahkan Linda masuk. “ Minggu ini akan ada wawancara mengenai novel terakhirmu, jujur novel itu emang luar biasa indah. Persiapkan dirimu ya.” Kata Linda sambil membuka buka novel ketiga buatan Kintya. “ Apalagi bagian ketika si cowo mengecat putih semua tuts piano, dapet inspirasi darimana terlebih lagi dari siapa atau cowo Jerman itu?” Tanya Linda penasaran. “ Kau akan tau jawabannya saat wawancara.” Jawab Kintya singkat sambil tersenyum dan membuat Linda semakin penasaran. Kintya melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul sembilan lalu mengedarkan pandangan dan tersenyum sambil melangkah meninggalkan Linda yang kini sibuk mengetik.
“ Hei udah lama?” Tanya Kintya pada pria di depannya. Seperti biasa, pria itu menggunakan topi, kacamata, dan yg khas dari pria itu adalah kumisnya yang tebal. “ Sepuluh menit yang lalu.” Jawabnya. “ Kamu udah baca novel ketigaku kan. Bagaimana menurutmu?”
“ Itu indah sekali. Kurasa cowo itu mempunyai keyakinan yang kuat.”
“Oh ya ?”
“ Hei kamu kan yang buat novel masa kamu gatau.”
“ Hee, cerita dalam novel itu cuma sekedar bayanganku.”
“ Untuk novel berikutnya kamu harus membuat isinya sesuai dengan yang kamu rasakan saat ini.”
“ Masalahnya aku tidak tau yang kurasakan saat ini. Hanya kosong dan tanpa variasi.”
“ Tidak adakah seseorang lain yang memberimu inspirasi ?”
“ Sebenarnya ada. Novelku semua terinspirasi dari dia dan untuk saat ini dia belum memberikan inspirasi lagi. Kami berteman lama lalu terpisah dan tidak ada komunikasi lagi.”

Mendengar penjelasan Kintya, pria itu tertegun.
“ Kenapa ? Oh ya minggu ini jangan lupa datang kesini ya. Ada wawancara, jam sembilan pagi.” Jelas Kintya. Pria itu hanya mengangguk dan berpamitan. Setelah pria itu tak terlihat, Kintya kembali ke ruangannya dan melihat Linda sedang berdiri di dekat gorden.
“ Siapa dia ? Kenapa kamu ga pernah cerita dekat dengan seseorang.“ Tanya Linda.
“ Bukan siapa siapa, hanya pelangganku sejak dua bulan yang lalu. Dan dia sering memberi masukan padaku untuk novel berikutnya.” Kintya menjawab lalu meyeruput buavita apelnya.
“ Oh baguslah, seengganya pikiranmu tidak tertuju pada cowo Jerman ga jelas itu.” Dan Kintya tidak menimpali pernyataan Linda.
Minggu, pukul sembilan pagi. Banyak orang sudah berkumpul di toko buku Kintya termasuk Kintya, Linda, dan pria berkumis yang menjadi teman baru Kintya. Acaranya berjalan lancar, berbagai pertanyaan berhasil Kintya jawab kalau ada pertanyaan menjebak biasanya Linda membantu menimpali atau menengahi. Tiba tiba ada yang bertanya, ”Siapa sih cowo yang menjadi inspirasi dalam pembuatan novel ini ? ”Kintya diam. Lalu tersenyum, “ Dia sahabatku sejak SMA.” Seorang mahasiswa menyeletuk, “ Kalau begitu apa dia ada disini ?”Kintya kembali diam dan menerawang, ditatapnya orang orang yang menghadiri wawancara ini dan berharap salah satu dari orang itu adalah pria yang memberinya inspirasi dalam setiap cerita dalam novelnya. Kintya menatap nanar, seharusnya dia tidak usah bertingkah bodoh dengan menatap mereka karena apa yang dia cari tidak mungkin hadir disini, lebih menyedihkan lagi kalo kenyataannya orang itu tidak akan kembali. “ Sayang sekali dia tidak hadir disini.” Jawab Kintya dan menutup wawancara hari ini.

Kintya terhempas di sofa ruangannya, sekelebat ingatan tentang Karel kembali terngiang jelas. Mati matian Kintya menyangkal perasaannya tapi pada akhirnya gagal.
“ Tok tok.” Pintu ruangannya diketuk. Kintya beranjak dari sofa dan membuka pintu, di hadapannya pria berkumis menatap lurus pada Kintya. Lalu beberapa orang di belakang membawa buket bunga besar dan meletakkan di depan Kintya.
“ Ada apa ?”Tanya Kintya. Tiba tiba pria itu melepas topi, kacamata, dan kumisnya lalu menatap Kintya. Kintya terkejut. Pria di hadapannya itu pria yang selama lima tahun ini dia tunggu, pria yang selalu menjadi fantasi dalam hidup, pria yang dia harap akan datang pada saat wawancara dan ingin dia tunjukan bahwa dialah yang menjadi inspirasinya selama ini.
“ Karel ?” Kata Kintya setengah bertanya. Pria itu hanya tersenyum. Senyuman itu membuat Kintya semakin yakin dia benar benar Karel. Karel yang dia rindukan.
“ Jadi selama dua bulan ini kamu yang selalu datang kesini?” Tanya Kintya lagi tak habis pikir.
“ Sebelum aku menjawab dan menjelaskan semuanya, tidak bisakah kamu membiarkan aku untuk duduk sejenak.” Jawab Karel. Buru buru Kintya menyilahkan Karel masuk dan duduk di sofa sementara Karel duduk, Kintya menyiapkan minum untuk Karel.
“ Maaf sebelumnya aku ga dateng ke rumah kamu dulu. Aku cuma takut kamu lupa aku.” Jelas Karel.
“ Bagaimana kamu tahu aku punya toko disini ?” Tanya Kintya
“ Aku liat spanduk bergambar kamu, aku beli bukumu dan mencari tau tentang kamu di blogmu. Aku menyamar karena takut aku tidak diharapkan kehadirannya disini.”
“Pikiran bodoh macam apa itu. Kenapa kamu ga langsung kesini aja sih. Kamu ga tau, aku kangen banget sama kamu. Aku ga akan nyalahin kamu karena emang kita ga ada komunikasi gara gara kecerobohanku sendiri.” Kintya tidak bisa menahan air matanya. Karel terdiam merasa terharu sekaligus geli, gadisnya itu tidak pernah berubah masih tetap ceroboh dan asbun. Karel mendekat lalu memeluk Kintya.
“ Maaf”. Kata Karel lirih. Mereka berdua diam.
“ Eh, kamu sudah menikah?” Tanya Kintya malu malu. Karel terdiam lalu menunduk.
“ Kalo aku udah nikah ngapain aku kesini nyari kamu. Seharusnya aku udah pulang tahun lalu tapi aku gamau dateng kesini tanpa membawa apapun. Sekarang aku udah bawa yang aku mau dan aku bakal kasih buat orang yang selama ini hidup di hati aku.” Jelas Karel panjang lebar.
“Lalu siapa orangnya ?” Tanya Kintya hati-hati. Karel keluar sebentar dan mengambil anggrek bulan.
“ Kamu tau alesan aku ngasih anggrek bulan dari sekian banyak anggrek.” Kata Karel. Kintya menggeleng cepat.
“ Nama kamu Kintya yang berarti dewi bulan. Anggrek bulan selalu ngingetin aku sama kamu.”Jelas Karel lagi.
“Jadi apa maksudnya ? ” Tanya Kintya benar benar tidak mengerti.
“ Menikahlah denganku Kintya Arimbi.” Jelas Karel sambil menyerahkan anggrek bulan yang dibatangnya menggantung cincin emas putih. Kintya tidak mempercayai pendengarannya. Dia hanya bisa mengangguk tanda setuju.
Dua minggu kemudian, rumah Kintya penuh sesak didatangi tamu undangan. Mereka semua menunggu kedatangan Karel dan Kintya dari masjid Baitul Makmur. Keduanya telah resmi menjadi sepasang suami istri. Ketika keduanya datang, terlihat jelas wajah bahagia menyelimuti mereka.

Karel : saat paling membahagiakan dalam hidupku adalah aku sudah mempunyai seseorang yang saat aku akan dan bangun tidur, dia ada disisiku. Dia adalah Kintya Arimbi.

Kintya : hal terbesar yang selama ini aku inginkan salah satunya adalah menggenggam tangan dr. Karel Adyasta Ibrahim sampai salah satu diantara kami mati.

No comments:

Post a Comment